Di SMA Negeri 2 Pare terdapat 23
ekstrakulikuler, salah satu diantara nya adalah ekstra Palang Merah Remaja
(PMR). PMR Smada Pare bernama ARMADA PALMERA (arek smada palang merah). Pmr
berada dalam naungan OSIS Smada pare (STAR CORP), lebih tepatnya dalam naungan
sie kepribadian dan budi pekerti luhur.
Pmr rutin mengadakan kegiatan
latihan bersama seluruh anggota setiap hari Senin dan Sabtu. Dan yang memberikan
materi adalah para anggota yang sudah mendapatkan pelatihan atau diklat. Tak
jarang pmr mengundang pelatih dari PMI KAB. Kediri, kebetulan jaraknya dari
Smada hanya 1 km. Pelatih PMR Smada dari PMI adlah Bapak Ruba’i. Dan pembina
pmr smada adalah Bu Dina Laksmanawati S,pd.
Hubungan antara anggota dengan
alumni pmr masih berlangsung harmonis. Setiap pmr mengadakan event-event besar,
tak lupa tuk mengundang alumni pmr.
Event besar yang akan dihadapi oleh
pmr adalah Jelang Tahun Baru (JTB). Berhubung pada JTB 2012, pmr Smada
memenangkan kompetisi Putra JTB. Maka, pada JTB 2013 Smada ditujuk sebagai tuan
rumah. Semoga acara tersebut dapat terselenggara dengan baik dan lancar.
Pmr Smada sudah mencapai banyak
prestasi. Diantaranya :
1. Juara
Umum II Jumbara Kab. Kediri
2. Juara
Umum I Jumbara Prov. Jawa Timur (Tim Gabungan)
3. Putra
terbaik JTB Kab. Kediri
4. Juara I
Perawatan Keluarga
5. Juara I,
I, II, dan III pada bidang-bidang lomba Travelling
Para
pengurus PMR WIRA SMAN 2 Pare periode 2013/2014, adalah :
Secara
Geografis SMA Negeri 2 Pare terletak kurang lebih 25 km dari pusat
pemerintahan kabupaten kediri. Tepatnyna di Jalan Pahlawan Kusuma
Bangsa 28 Pare dengan nomor telepon (0354)391177, alamat website
www.smadapare.com , dan email: smada_pare@yahoo.co.id. Letak sekolah
terfavorit di Kabupaten Kediri ini sayngat strategis karena berada di
tengah kota dan dikelilingi oleh sarana umum mmilik pemerintah
Kabupaten Kediri misalnya RSUD Kabuapaten Kediri, Stadion Olahraga,
Kantor Bank dan masjid Agung An-Nur sehingga memudahkan melakukan
koordinas. Selain itu , SMA Negeri 2 Pare sangat dekat dengan
Perkampungan Bahasa Inggris yang terkenal diseluruh Indonesia sehingga
memudahkan warga sekolah untuk belajar Bahasa Inggris. Karena letaknya
di tepi jalan protokol , SMA Negeri 2 Pare sangant mudah dijangkau oleh
angkutan umum dari segala jurusan.
Dari usianya yang cukup dewasa, SMA Negeri 2 Pare sudah banyank
membantu pemerintah dalam membentuk sumberdaya manusia yang
berkualitas, hal itu dapat dilihat dari keberhasilan mengantarkan
lulusannya masuk ke perguruan tinggi favorit diseluruh Indonesia.
Selain itu, juga ditandai dengan prestasinya yang luar biasa mulai di
tingkat kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional.
Pada tahun 2007/2008 SMA Negeri 2 Pare mulai ditetapkan sebagai
Rintisan Sekolah Kategori Mandiri (SKM) / Sekolah Standar Nasional
(SSN).Seiring berjalannya waktu, berbagai prestasi mulai tingkat
kabupaten sampai dengan tingkat internasional berhasil diraih.Pada
tahun pelajaran 2009/2010 ditetapkan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) berdasarkan SK Nomor : 1823/C.C4/LL/2009.
Siluet sinar matahari
menerpa wajahku seakan membangunkanku dari mimpi indah. Ayam-ayam jantan
berlomba menyuarakan kokokan mereka, menunjukan siapakah di antara mereka yang
paling jantan dan pantas mendapatkan betina terbaik. Dengan malas, aku bangkit
dari dipan yang sudah mulai lapuk termakan usia itu. Segera aku mengambil
peralatan mandi dan berjalan ke kamar mandi umum yang ada di perkampunganku.
Ternyata antrean sudah panjang, biasanya kalau begini bisa setengah jam aku
harus mengantre.
Kulihat anak-anak
berseragam merah putih yang usang keluar dari gubuk untuk pergi ke sekolah
terbuka di kampung sebelah. Aku dulu pernah menimba ilmu di sekolah tersebut
tapi aku harus keluar untuk mencari kerja. Aku tak seperti mereka yang memiliki
kasih sayang dari orang tua, bahkan aku tidak pernah mengenal wajah kedua orangtuaku.
Sejak kecil aku sudah dibuang ke perkampungan kumuh ini oleh orangtuaku. Aku
ditemukan warga dalam keadaan berselimut di dalam kardus beserta sebuah fotoku.
Mungkin mereka malu mempunyai anak sepertiku yang lahir tidak sempurna. Aku
dilahirkan dengan hanya memilki satu kaki. Sehingga, kemana-mana aku harus membawa tongkat yang
setia menemani hari-hariku.
Pukulan lembut di
punggung membuyarkan lamunanku. Ternyata pukulan seorang ibu setengah baya
memperingatkanku bahwa giliran mandiku sudah tiba. Kulempar senyumku ke ibu
tersebut sebagai tanda terimakasih. Aku mandi sekadarnya, tak perlu waktu lama
untuk menyegarkan badan yang rapuh ini. Dengan tongkat, aku kembali ke gubukku
yang mewah. Dalam gubuk aku berganti pakaian dan mengambil selembar karung
berukuran besar. Dan berangkatlah aku untuk mengais sampah di kota yang terkenal dengan tahu sebagai identitasnya.
Tong sampah demi tong
sampah telah kulalui. Akan tetapi karungku masih terisi setengahnya. Kalau
begini aku harus mengais sampah di perumahan yang cukup mewah. Jaraknya lumayan
untuk membuat kakiku menjadi lelah. Dengan susah payah aku mengais tong-tong
sampah di perumahan ini.
Kulihat terdapat sebuah
lukisan yang berukuran besar tergeletak di balik tong sampah. Kutengok kanan kiri apakah ada orang yang
mungkin menaruhnya di situ. Kulihat tak seorang pun di sekitar, langsung kuambil
lukisan tersebut dan kumasukkan ke dalam karung. Karungku belum terisi penuh,
akan tetapi aku berniat untuk pulang karena pasti harga jual lukisan tadi cukup
untuk membeli makan selama lima hari.
Dalam perjalanan pulang,
aku mengistirahatkan kakiku di depan warung pinggir jalan. Kupesan segelas air
putih yang dibandrol seribu rupiah. Tak ada yang gratis di kota ini, semua
perlu yang namanya duit. Sambil bersantai di bawah pohon, aku menikmati
lukisan-lukisan yang terpampang di depan toko lukisan seberang jalan. Lukisannya
begitu indah, ingin rasanya aku membeli satu untuk memperindah gubukku. Hal itu
hanyalah khayalan belaka, mana mungkin uangku cukup untuk membeli
lukisan-lukisan tersebut. Mungkin perlu waktu dua bulan tanpa makan baru bisa
membelinya.
Kumandang adzan
memanggilku untuk segera meluangkan menghadap Sang Kuasa. Tak jauh dari warung
terdapat masjid, kujalankan kakiku untuk menghampirinya. Dengan baju yang kusam,
kuberanikan masuk ke kompleks masjid. Beribu mata memandangku dengan tatapan
yang serius. Mungkin di mata mereka aku tak
pantas masuk ke tempat suci ini. Tetapi pernah kudengar ceramah dari Ustad
kondang Jeffry Al-Bukhori, bahwa manusia di mata Tuhan sama, hanya amal lah
yang membedakan mereka. Kuambil air wudhu dan segara masuk dalam barisan salat.
Imam membunyikan salam
pertanda bahwa ibadah telah usai. Aku segera mengucapkan doa yang begitu banyak
dari mulutku. Di antara doa-doa
tersebut, yang aku dahulukan adalah memohonkan ampunan bagi kedua orangtuaku.
Meskipun mereka menendangku, aku tak menyimpan dendam kepada mereka. Justru aku
ingin sekali bertemu dengan mereka. Ibu, andai kau tau betapa aku ingin mencium
kakimu agar mendapatkan surga yang kata ustad banyak bidadari.
Aku segara pulang ke
gubuk untuk mengemas barang rosokan dan segera kujual. Saat kuambil lukisan
keluarga tadi terlihat seorang anak seumuranku dan di belakangnya berdiri kedua
orangtuanya. Mereka keturunan singkek
sebutan orang jawa untuk orang cina. Andai aku memiliki foto kedua orang tuaku
pasti bisa kupakai untuk mengobati rinduku. Melihat kebersamaan mereka
membuatku urung untuk menjual lukisan tersebut. Lalu aku memajang lukisan itu
pada dinding gubukku yang terbuat dari anyaman bambu. Dan, segera aku bergegas
menuju ke pengepul di tengah perkampungan.
Dari pengepul aku memperoleh
uang hanya sepuluh ribu rupiah. Sejumlah uang tersebut cukup untuk membeli
makan malam. Segera aku pulang menuju perkampungan, sebelumnya aku mampir ke
warung langgananku yang berada di depan toko lukisan untuk membeli sepiring
nasi dengan lauk seadanya dan segelas teh manis. Setelah kenyang perutku, aku
berjalan menuju gubuk berlomba dengan tenggelamnya sang fajar. Sampai gubuk aku
langsung membaringkan tubuh ini di dipan dan berharap mimpi yang indah di malam
ini.
“Yudo maafkan Mama, Mama
telah membuangmu dan tak menganggapmu” kata seorang perempuan cantik bak
bidadari yang mengaku sebagai mamaku.
”Papa juga minta maaf
ya, nak,” tambah seorang bapak yang mengaku sebagai papaku.
“Maafkan kami sebelum
kami meninggalkanmu untuk selamanya,” kata mereka sambil berjalan beriringan
pergi menuju sebuah cahaya terang benderang.
“Mama, Papa jangan
tinggalkan Yudo,” seruku sambil mengejar mereka. Tetapi saat lari aku
tersandung sesuatu dan “braaak” aku jatuh dari dipan dan menubruk lemari kecil.
Kuatur nafasku yang tersengal-sengal dan mengambil secangkir air putih di atas
meja kecil samping dipan.
Sang fajar pun sudah
menampakkan batang hidungnya. Seperti biasa, aku bergegas mengantre ke kamar
mandi umum perkampungan. Kali ini yang mengantre sangatlah sedikit. Karena hari
ini adalah hari Minggu, hari yang panjang dan hari bermalas-malasan bagi banyak
orang. Tetapi, bagiku hari Minggu adalah hari yang baik untuk mengais rezeki.
Setelah berkutat dengan dinginnya air, segera kusambar karung rosokku.
Hari ini aku mulai
mengais di perumahan tempat aku menemukan lukisan keluarga. Saat aku sedang
mengais, kulihat sebuah dompet tergeletak di jalan menuju pintu gerbang
perumahan. Kuambil dompet itu dan
langsung aku masukkan kedalam kantong celana usangku. Kugerakkan cepat
kakiku seirama dengan tongkat, meninggalkan perumahan ini. Tak jauh dari
perumahan, segera aku duduk di bawah pohon beringin dengan diterpa angin
sepoi-sepoi. Aku atur nafasku yang tersengal-sengal dan meluruskan kakiku agar
tidak terkena varises kata
orang-orang.
Aku berpikir, apa yang
harus aku lakukan terhadap dompet ini. Kubuka perlahan dompet itu dan kuambil
kartu nama pemiliknya. Tertera nama Suharto Dermawan yang beralamatkan di perkampungan
yang terletak di barat Sungai Brantas. Selain itu, terdapat kartu ATM dan
berlembar-lembar uang ratusan ribu rupiah. Mengingat surga dan neraka, segera
kubangkit dan berjalan menuju alamat tersebut. Perumahan tersebut letaknya agak
jauh, kira-kira tujuh kilometer dari tempatku berdiri. Karena tak mungkin aku
berjalan sejauh itu, aku mengambil sedikit uang dari dompet untuk membayar
ongkos angkot kota.
Tak perlu waktu lama
untuk menemukan rumah pemilik dompet ini. Rumahnya tidak terlalu mewah tetapi
ukurannya begitu besar. Kuketuk pintu rumahnya, tak lama langsung dibuka oleh
seorang bapak-bapak. “Ada perlu apa ya mas ?” Tanya bapak itu dengan nada yang
ramah.
“Apakah ini rumah bapak
Suharto ?”
“Ya betul.”
“Ini pak, saya mau mengembalikan dompet bapak
yang saya temukan tergeletak di jalan.”
“Oh iya, silakan duduk
dulu,” timpalnya sambil menggandeng tanganku menuju ke kursi depan rumah.
“Makasih ya dek, adek
sudah jujur untuk mengembalikan dompet saya.”
“Sama-sama, Pak. Tetapi,
tadi saya mengambil sepuluh ribu untuk membayar angkot kota,” jawabku sekadarnya.
“Tidak apa-apa, rumah adek dimana dan kerja
apa?” Tanya bapak itu dengan muka penasaran.
“Saya tinggal di
perkampungan kumuh tengah kota dan setiap hari saya memulung di
perumahan-perumahan,” jawab saya dengan percaya diri.
Suasana hening sejenak hingga Pak Suharto
menanyai saya “Apakah adek mau bekerja disini?“
“Tetapi apa yang bisa
saya bantu dengan kaki seperti ini pak?”
“Adek bisa membantu membuat telur asin,
kebetulan saya memiliki industri pembuat telur asin.”
“Iya pak, saya mau bekerja
pada bapak,” jawabku dengan antusias. Setelah percakapan yang tidak begitu
panjang aku pulang berpamitan dengan Pak Suharto. Setelah pulang naik angkot
dengan ongkos yang diberikan Pak Suharto, aku segera tidur karena kecapekan.
Tak biasanya magrib begini aku sudah tidur.
Pagi telah tiba, aku
sudah mandi dan siap berangkat ke rumah Pak Suharto. Aku memakai pakaian terbaik
yang aku punya. Aku naik angkot dengan uang sisa pemberian Pak Suharto kemarin.
Sesampainya disana aku disambut dengan senyuman Pak Suharto yang manis. Kami
berbincang-bincang tentang masa lalu Pak Suharto sambil berjalan menuju pabrik
di belakang rumah.
“Dahulu, saya mempunyai
anak lelaki. Tetapi, saya membuang anak tersebut. Karena saya dan istri malu
terhadap kekurangan fisiknya. Dia juga seperti adek tidak memiliki kaki bagian
kanan. Mungkin sekarang dia seumuran kamu,” celoteh Pak Suharto. Aku terdiam,
berpikir apakah anak itu adalah diriku. Ah, mungkin hanya hayalanku saja.
“Dek, apakah adek tersinggung
dengan perkataan saya,” ucap Pak Suharto membuyarkan lamunanku.
“Oh, tentu tidak pak,”
jawabku asal.Sesampai di pabrik, aku diperkenalkan dengan buruh lainnya. Mereka
sangat wellcome terhadap saya. Mereka
membimbing saya agar bisa membuat telur asin. Pabrik Pak Suharto ini cukup
besar, pemasarannya sampai ke luar kota.
Sudah satu bulan saya
bekerja di pabrik Pak Suharto. Saya sudah cukup mahir dalam membuat telur asin.
Pak Suharto memuji kecakapan saya dalam bekerja. Dia memberiku gaji pertama
lebih dari gaji yang ditetapkan. Katanya, sebagai hadiah karena telah bekerja
dengan baik. Kuterima uang yang sangat besar bagi diriku. Uang tersebut sebesar
tujuh ratus ribu. Aku pulang dengan bahagia namun bingung apa yang harus aku
perbuat dengan uang sebesar itu. Terbesit dipikaranku untuk menyumbangkan
sebagian uang ke sekolah terbukaku dulu. Tiba-tiba aku teringat akan kedua
orangtuaku. Ingin rasanya aku memberikan gaji pertamaku untuk mereka. Tetapi
bagaimana caranya. Oh, aku tahu, bagaimana kalau aku membuat lukisan diriku.
Iya, mungkin itu cara agar mereka bisa mengetahui kalau aku sudah dewasa.
Segera aku menuju toko
lukisan di depan warung langgananku. Kuutarakan maksudku kepada pelukis,
pemilik toko. Akan tetapi uang saya tidak mencukupi untuk membayar jasa pelukis
tersebut. Karena pelukis tersebut terharu dengan ceritaku. Akhirnya dia
memberiku keringanan dengan memperbolehkanku mengangsurnya. Kuberikan selembar
fotoku saat aku masih bayi. Lebih dari satu jam kurasa, dia melukis diriku.
Hasilnya begitu mirip dengan wajahku di foto, sesuai dengan keinginanku.
Kukatakan ke pelukis
tersebut untuk meletakkan lukisan diriku di depan tokonya. Langsung dia
letakkan lukisannya di deretan lukisan depan toko. Aku berharap kedua
orangtuaku dapat melihat lukisan tersebut dan teringat kepada diriku agar
segera mencariku. Aku tahu hal itu terkesan mustahil. Tetapi aku percaya, bahwa
keajaiban Tuhan masih ada.