Pages

Jumat, 20 September 2013

Lukisan Untuk Mama

 
Lukisan Untuk Mama
Siluet sinar matahari menerpa wajahku seakan membangunkanku dari mimpi indah. Ayam-ayam jantan berlomba menyuarakan kokokan mereka, menunjukan siapakah di antara mereka yang paling jantan dan pantas mendapatkan betina terbaik. Dengan malas, aku bangkit dari dipan yang sudah mulai lapuk termakan usia itu. Segera aku mengambil peralatan mandi dan berjalan ke kamar mandi umum yang ada di perkampunganku. Ternyata antrean sudah panjang, biasanya kalau begini bisa setengah jam aku harus mengantre.
Kulihat anak-anak berseragam merah putih yang usang keluar dari gubuk untuk pergi ke sekolah terbuka di kampung sebelah. Aku dulu pernah menimba ilmu di sekolah tersebut tapi aku harus keluar untuk mencari kerja. Aku tak seperti mereka yang memiliki kasih sayang dari orang tua, bahkan aku tidak pernah mengenal wajah kedua orangtuaku. Sejak kecil aku sudah dibuang ke perkampungan kumuh ini oleh orangtuaku. Aku ditemukan warga dalam keadaan berselimut di dalam kardus beserta sebuah fotoku. Mungkin mereka malu mempunyai anak sepertiku yang lahir tidak sempurna. Aku dilahirkan dengan hanya memilki satu kaki. Sehingga,  kemana-mana aku harus membawa tongkat yang setia menemani hari-hariku.
Pukulan lembut di punggung membuyarkan lamunanku. Ternyata pukulan seorang ibu setengah baya memperingatkanku bahwa giliran mandiku sudah tiba. Kulempar senyumku ke ibu tersebut sebagai tanda terimakasih. Aku mandi sekadarnya, tak perlu waktu lama untuk menyegarkan badan yang rapuh ini. Dengan tongkat, aku kembali ke gubukku yang mewah. Dalam gubuk aku berganti pakaian dan mengambil selembar karung berukuran besar. Dan berangkatlah aku untuk mengais sampah di  kota yang terkenal dengan tahu sebagai identitasnya.
Tong sampah demi tong sampah telah kulalui. Akan tetapi karungku masih terisi setengahnya. Kalau begini aku harus mengais sampah di perumahan yang cukup mewah. Jaraknya lumayan untuk membuat kakiku menjadi lelah. Dengan susah payah aku mengais tong-tong sampah di perumahan ini.
Kulihat terdapat sebuah lukisan yang berukuran besar tergeletak di balik tong sampah.  Kutengok kanan kiri apakah ada orang yang mungkin menaruhnya di situ. Kulihat tak seorang pun di sekitar, langsung kuambil lukisan tersebut dan kumasukkan ke dalam karung. Karungku belum terisi penuh, akan tetapi aku berniat untuk pulang karena pasti harga jual lukisan tadi cukup untuk membeli makan selama lima hari.
Dalam perjalanan pulang, aku mengistirahatkan kakiku di depan warung pinggir jalan. Kupesan segelas air putih yang dibandrol seribu rupiah. Tak ada yang gratis di kota ini, semua perlu yang namanya duit. Sambil bersantai di bawah pohon, aku menikmati lukisan-lukisan yang terpampang di depan toko lukisan seberang jalan. Lukisannya begitu indah, ingin rasanya aku membeli satu untuk memperindah gubukku. Hal itu hanyalah khayalan belaka, mana mungkin uangku cukup untuk membeli lukisan-lukisan tersebut. Mungkin perlu waktu dua bulan tanpa makan baru bisa membelinya.
Kumandang adzan memanggilku untuk segera meluangkan menghadap Sang Kuasa. Tak jauh dari warung terdapat masjid, kujalankan kakiku untuk menghampirinya. Dengan baju yang kusam, kuberanikan masuk ke kompleks masjid. Beribu mata memandangku dengan tatapan yang serius. Mungkin  di mata mereka aku tak pantas masuk ke tempat suci ini. Tetapi pernah kudengar ceramah dari Ustad kondang Jeffry Al-Bukhori, bahwa manusia di mata Tuhan sama, hanya amal lah yang membedakan mereka. Kuambil air wudhu dan segara masuk dalam barisan salat.
Imam membunyikan salam pertanda bahwa ibadah telah usai. Aku segera mengucapkan doa yang begitu banyak dari mulutku. Di   antara doa-doa tersebut, yang aku dahulukan adalah memohonkan ampunan bagi kedua orangtuaku. Meskipun mereka menendangku, aku tak menyimpan dendam kepada mereka. Justru aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Ibu, andai kau tau betapa aku ingin mencium kakimu agar mendapatkan surga yang kata ustad banyak bidadari.
                                                                            
Aku segara pulang ke gubuk untuk mengemas barang rosokan dan segera kujual. Saat kuambil lukisan keluarga tadi terlihat seorang anak seumuranku dan di belakangnya berdiri kedua orangtuanya. Mereka keturunan singkek sebutan orang jawa untuk orang cina. Andai aku memiliki foto kedua orang tuaku pasti bisa kupakai untuk mengobati rinduku. Melihat kebersamaan mereka membuatku urung untuk menjual lukisan tersebut. Lalu aku memajang lukisan itu pada dinding gubukku yang terbuat dari anyaman bambu. Dan, segera aku bergegas menuju ke pengepul di tengah perkampungan.
Dari pengepul aku memperoleh uang hanya sepuluh ribu rupiah. Sejumlah uang tersebut cukup untuk membeli makan malam. Segera aku pulang menuju perkampungan, sebelumnya aku mampir ke warung langgananku yang berada di depan toko lukisan untuk membeli sepiring nasi dengan lauk seadanya dan segelas teh manis. Setelah kenyang perutku, aku berjalan menuju gubuk berlomba dengan tenggelamnya sang fajar. Sampai gubuk aku langsung membaringkan tubuh ini di dipan dan berharap mimpi yang indah di malam ini.
“Yudo maafkan Mama, Mama telah membuangmu dan tak menganggapmu” kata seorang perempuan cantik bak bidadari yang mengaku sebagai mamaku.
”Papa juga minta maaf ya, nak,” tambah seorang bapak yang mengaku sebagai papaku.
“Maafkan kami sebelum kami meninggalkanmu untuk selamanya,” kata mereka sambil berjalan beriringan pergi menuju sebuah cahaya terang benderang.
“Mama, Papa jangan tinggalkan Yudo,” seruku sambil mengejar mereka. Tetapi saat lari aku tersandung sesuatu dan “braaak” aku jatuh dari dipan dan menubruk lemari kecil. Kuatur nafasku yang tersengal-sengal dan mengambil secangkir air putih di atas meja kecil samping dipan.
Sang fajar pun sudah menampakkan batang hidungnya. Seperti biasa, aku bergegas mengantre ke kamar mandi umum perkampungan. Kali ini yang mengantre sangatlah sedikit. Karena hari ini adalah hari Minggu, hari yang panjang dan hari bermalas-malasan bagi banyak orang. Tetapi, bagiku hari Minggu adalah hari yang baik untuk mengais rezeki. Setelah berkutat dengan dinginnya air, segera kusambar karung rosokku.
Hari ini aku mulai mengais di perumahan tempat aku menemukan lukisan keluarga. Saat aku sedang mengais, kulihat sebuah dompet tergeletak di jalan menuju pintu gerbang perumahan. Kuambil dompet itu dan  langsung aku masukkan kedalam kantong celana usangku. Kugerakkan cepat kakiku seirama dengan tongkat, meninggalkan perumahan ini. Tak jauh dari perumahan, segera aku duduk di bawah pohon beringin dengan diterpa angin sepoi-sepoi. Aku atur nafasku yang tersengal-sengal dan meluruskan kakiku agar tidak terkena varises kata orang-orang.
Aku berpikir, apa yang harus aku lakukan terhadap dompet ini. Kubuka perlahan dompet itu dan kuambil kartu nama pemiliknya. Tertera nama Suharto Dermawan yang beralamatkan di perkampungan yang terletak di barat Sungai Brantas. Selain itu, terdapat kartu ATM dan berlembar-lembar uang ratusan ribu rupiah. Mengingat surga dan neraka, segera kubangkit dan berjalan menuju alamat tersebut. Perumahan tersebut letaknya agak jauh, kira-kira tujuh kilometer dari tempatku berdiri. Karena tak mungkin aku berjalan sejauh itu, aku mengambil sedikit uang dari dompet untuk membayar ongkos angkot kota.
Tak perlu waktu lama untuk menemukan rumah pemilik dompet ini. Rumahnya tidak terlalu mewah tetapi ukurannya begitu besar. Kuketuk pintu rumahnya, tak lama langsung dibuka oleh seorang bapak-bapak. “Ada perlu apa ya mas ?” Tanya bapak itu dengan nada yang ramah.
“Apakah ini rumah bapak Suharto ?”
 “Ya betul.”
 “Ini pak, saya mau mengembalikan dompet bapak yang saya temukan tergeletak di jalan.”
“Oh iya, silakan duduk dulu,” timpalnya sambil menggandeng tanganku menuju ke kursi depan rumah.
“Makasih ya dek, adek sudah jujur untuk mengembalikan dompet saya.”
“Sama-sama, Pak. Tetapi, tadi saya mengambil sepuluh ribu untuk membayar angkot kota,” jawabku sekadarnya.
 “Tidak apa-apa, rumah adek dimana dan kerja apa?” Tanya bapak itu dengan muka penasaran.
“Saya tinggal di perkampungan kumuh tengah kota dan setiap hari saya memulung di perumahan-perumahan,” jawab saya dengan percaya diri.
 Suasana hening sejenak hingga Pak Suharto menanyai saya “Apakah adek mau bekerja disini?“
“Tetapi apa yang bisa saya bantu dengan kaki seperti ini pak?”
 “Adek bisa membantu membuat telur asin, kebetulan saya memiliki industri pembuat telur asin.”
“Iya pak, saya mau bekerja pada bapak,” jawabku dengan antusias. Setelah percakapan yang tidak begitu panjang aku pulang berpamitan dengan Pak Suharto. Setelah pulang naik angkot dengan ongkos yang diberikan Pak Suharto, aku segera tidur karena kecapekan. Tak biasanya magrib begini aku sudah tidur.
Pagi telah tiba, aku sudah mandi dan siap berangkat ke rumah Pak Suharto. Aku memakai pakaian terbaik yang aku punya. Aku naik angkot dengan uang sisa pemberian Pak Suharto kemarin. Sesampainya disana aku disambut dengan senyuman Pak Suharto yang manis. Kami berbincang-bincang tentang masa lalu Pak Suharto sambil berjalan menuju pabrik di belakang rumah.
“Dahulu, saya mempunyai anak lelaki. Tetapi, saya membuang anak tersebut. Karena saya dan istri malu terhadap kekurangan fisiknya. Dia juga seperti adek tidak memiliki kaki bagian kanan. Mungkin sekarang dia seumuran kamu,” celoteh Pak Suharto. Aku terdiam, berpikir apakah anak itu adalah diriku. Ah, mungkin hanya hayalanku saja.
“Dek, apakah adek tersinggung dengan perkataan saya,” ucap Pak Suharto membuyarkan lamunanku.
“Oh, tentu tidak pak,” jawabku asal.Sesampai di pabrik, aku diperkenalkan dengan buruh lainnya. Mereka sangat wellcome terhadap saya. Mereka membimbing saya agar bisa membuat telur asin. Pabrik Pak Suharto ini cukup besar, pemasarannya sampai ke luar kota.
Sudah satu bulan saya bekerja di pabrik Pak Suharto. Saya sudah cukup mahir dalam membuat telur asin. Pak Suharto memuji kecakapan saya dalam bekerja. Dia memberiku gaji pertama lebih dari gaji yang ditetapkan. Katanya, sebagai hadiah karena telah bekerja dengan baik. Kuterima uang yang sangat besar bagi diriku. Uang tersebut sebesar tujuh ratus ribu. Aku pulang dengan bahagia namun bingung apa yang harus aku perbuat dengan uang sebesar itu. Terbesit dipikaranku untuk menyumbangkan sebagian uang ke sekolah terbukaku dulu. Tiba-tiba aku teringat akan kedua orangtuaku. Ingin rasanya aku memberikan gaji pertamaku untuk mereka. Tetapi bagaimana caranya. Oh, aku tahu, bagaimana kalau aku membuat lukisan diriku. Iya, mungkin itu cara agar mereka bisa mengetahui kalau aku sudah dewasa.
Segera aku menuju toko lukisan di depan warung langgananku. Kuutarakan maksudku kepada pelukis, pemilik toko. Akan tetapi uang saya tidak mencukupi untuk membayar jasa pelukis tersebut. Karena pelukis tersebut terharu dengan ceritaku. Akhirnya dia memberiku keringanan dengan memperbolehkanku mengangsurnya. Kuberikan selembar fotoku saat aku masih bayi. Lebih dari satu jam kurasa, dia melukis diriku. Hasilnya begitu mirip dengan wajahku di foto, sesuai dengan keinginanku.
Kukatakan ke pelukis tersebut untuk meletakkan lukisan diriku di depan tokonya. Langsung dia letakkan lukisannya di deretan lukisan depan toko. Aku berharap kedua orangtuaku dapat melihat lukisan tersebut dan teringat kepada diriku agar segera mencariku. Aku tahu hal itu terkesan mustahil. Tetapi aku percaya, bahwa keajaiban Tuhan masih ada.      
(oleh : BINTANG ARTIKO WIBISONO )
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar