Pages

Senin, 25 November 2013

Batik Is My Identity


Suara rintik hujan mengiringi goresan-goresan indah dari cantingku. Dinginnya malam yang berhujan terhalangi oleh sepercik kehangatan dari api tungku yang berada di dekatku. Segores demi segores kutorehkan harapan dan cita-citaku di atas kain putih nan suci ini. Menggores dengan perlahan lalu mengambil lelehan lilin, kulakukan terus berulang-ulang. Namun, aku tak pernah jenuh atau bosan. Karena, membatik sudah mendarah daging di jiwaku.
Ini berawal dari masa kecilku. Ayah saya adalah orang yang hobi sekali membatik. Desain-desain nya sudah terkenal di daerah jawa tengah, bahkan sampai ke luar negeri. Tak jadi hal yang istimewa lagi memang, jika ayah sering diundang untuk menghadiri acara fashion show di mancanegara. Sebenarnya membatik hanyalah pekerjaan sampingan dari ayahku. Pekerjaan utama ayahku adalah sebagai Dosen di Institut Seni Indonesia Jogjakarta. Berbanding terbalik dengan bidang yang dia ajarkan. Ayahku adalah dosen di Jurusan seni teater. Sudah hal wajar jika pekerjaan seseorang tak sejalan dengan kuliah yang kita ambil. Saat ini saja jebolan dari jurusan teknik kimia bisa bekerja di instansi bank. Memang, nasib seseorang siapa yang tahu.
Aku selalu benci jika melihat ayah sedang berkutat dengan canting. Jika dia sudah memegang canting, bisa 10 jam waktu yang dia lewatkan bersama canting. hal yang tak aku suka adalah waktu ayah untuk aku begitu sedikit, bisa dikatakan kita jarang berbincang-bincang. Memang benar salah satu tugas seorang ayah adalah menafkahi istri dan anak-anak nya. Akan tetapi, jangan sampai melupakan waktu untuk keluarganya. Hal itu membuat aku benci dengan budaya bangsaku sendiri, yaitu batik.
Hingga pada saatnya semua itu berbalik 360 derajat. Saat itu ayahku tiba-tiba pingsan ketika sibuk membatik. Hingga dia terbujur lemas di atas kasur di rumah sakit. Ternyata ayahku terkena strok. Aku sangat sedih melihat dia tidak bisa lagi beraktivitas seperti semula.
Suatu ketika, ayah mengajak aku berbicara berdua. Kami berkomunikasi dengan goresan di atas secarik kertas. Karena ayah bicaranya sudah tidak jelas. Dari goresan yang tak beraturan itu, tertulis “Ayah sayang kamu, terusin usaha batik ayah”. Saat membacanya jatuhlah air mata ku. Tak kusangka jika pesan itu adalah pesan terakir dari ayah. Aku tak kuasa menahan air mata ini. Langsung saja aku peluk ibu tercinta.
Dengan balutan jas hitam dan dasi bercorak batik menambah kewibawaan ayah. Aku berharap jika ayah dikebumikan bersama dengan salah satu karya batiknya akan membuat ayah tenang disana. Pemakaman ayah di iringi oleh banyak orang yang berbalut baju hitam. Terlihat juga orang asing berkulit putih. Mungkin itu relasi kerja ayah dari luar negeri. Baru sadar jika ayah medikenal banyak orang. Kenapa aku anaknya sendiri tak begitu mengenal sama ayah. Saya baru sadar kerenggangan antara aku dan ayah bukanlah karena hobi ayah membatik tetapi karena saya yang tak bisa menempatkan diri di posisi ayah.
Setelah kepergian ayah, aku melanjutkan usaha ayah untuk mengembangkan bisnis batik ayah. Hal itu sesuai dengan wasiat ayah sebelum meninggal. Sedikit demi sedikit saya belajar membatik dari salah satu teman baik ayah. Hingga akhirnya saya sudah cukup mahir membatik, baru saya berani melanjutkan bisnis batik ayah.
Hingga kini aku tetap membatik. Sudah banyak karya saya yang dikenal masyarakat jawa tengah. Kesuksesan ini tak lepas dari wasiat ayah yang saya jadikan motivasi untuk bisnis ayah.
Setelah menjalani bisnis batik ini, rasa cinta tanah air saya bergejolak. Saya baru tahu betapa luar biasanya budaya Indonesia. Saya berjanji kepada diri sendiri untuk melestarikan batik sebagai budaya asli Indonesia, bukan budaya jiplakan dari bangsa lain. Ayah semoga engkau tersenyum melihat kesuksesan melanjutkan bisnis mu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar