Suara rintik hujan mengiringi goresan-goresan indah
dari cantingku. Dinginnya malam yang berhujan terhalangi oleh sepercik
kehangatan dari api tungku yang berada di dekatku. Segores demi segores
kutorehkan harapan dan cita-citaku di atas kain putih nan suci ini. Menggores
dengan perlahan lalu mengambil lelehan lilin, kulakukan terus berulang-ulang.
Namun, aku tak pernah jenuh atau bosan. Karena, membatik sudah mendarah daging
di jiwaku.
Ini berawal dari masa kecilku. Ayah saya adalah
orang yang hobi sekali membatik. Desain-desain nya sudah terkenal di daerah
jawa tengah, bahkan sampai ke luar negeri. Tak jadi hal yang istimewa lagi
memang, jika ayah sering diundang untuk menghadiri acara fashion show di
mancanegara. Sebenarnya membatik hanyalah pekerjaan sampingan dari ayahku.
Pekerjaan utama ayahku adalah sebagai Dosen di Institut Seni Indonesia
Jogjakarta. Berbanding terbalik dengan bidang yang dia ajarkan. Ayahku adalah
dosen di Jurusan seni teater. Sudah hal wajar jika pekerjaan seseorang tak
sejalan dengan kuliah yang kita ambil. Saat ini saja jebolan dari jurusan
teknik kimia bisa bekerja di instansi bank. Memang, nasib seseorang siapa yang
tahu.
Aku selalu benci jika melihat ayah sedang berkutat
dengan canting. Jika dia sudah memegang canting, bisa 10 jam waktu yang dia
lewatkan bersama canting. hal yang tak aku suka adalah waktu ayah untuk aku
begitu sedikit, bisa dikatakan kita jarang berbincang-bincang. Memang benar
salah satu tugas seorang ayah adalah menafkahi istri dan anak-anak nya. Akan
tetapi, jangan sampai melupakan waktu untuk keluarganya. Hal itu membuat aku
benci dengan budaya bangsaku sendiri, yaitu batik.
Hingga pada saatnya semua itu berbalik 360 derajat.
Saat itu ayahku tiba-tiba pingsan ketika sibuk membatik. Hingga dia terbujur
lemas di atas kasur di rumah sakit. Ternyata ayahku terkena strok. Aku sangat
sedih melihat dia tidak bisa lagi beraktivitas seperti semula.
Suatu ketika, ayah mengajak aku berbicara berdua.
Kami berkomunikasi dengan goresan di atas secarik kertas. Karena ayah bicaranya
sudah tidak jelas. Dari goresan yang tak beraturan itu, tertulis “Ayah sayang
kamu, terusin usaha batik ayah”. Saat membacanya jatuhlah air mata ku. Tak
kusangka jika pesan itu adalah pesan terakir dari ayah. Aku tak kuasa menahan
air mata ini. Langsung saja aku peluk ibu tercinta.
Dengan balutan jas hitam dan dasi bercorak batik
menambah kewibawaan ayah. Aku berharap jika ayah dikebumikan bersama dengan
salah satu karya batiknya akan membuat ayah tenang disana. Pemakaman ayah di
iringi oleh banyak orang yang berbalut baju hitam. Terlihat juga orang asing
berkulit putih. Mungkin itu relasi kerja ayah dari luar negeri. Baru sadar jika
ayah medikenal banyak orang. Kenapa aku anaknya sendiri tak begitu mengenal
sama ayah. Saya baru sadar kerenggangan antara aku dan ayah bukanlah karena
hobi ayah membatik tetapi karena saya yang tak bisa menempatkan diri di posisi
ayah.
Setelah kepergian ayah, aku melanjutkan usaha ayah
untuk mengembangkan bisnis batik ayah. Hal itu sesuai dengan wasiat ayah
sebelum meninggal. Sedikit demi sedikit saya belajar membatik dari salah satu
teman baik ayah. Hingga akhirnya saya sudah cukup mahir membatik, baru saya
berani melanjutkan bisnis batik ayah.
Hingga kini aku tetap membatik. Sudah banyak karya
saya yang dikenal masyarakat jawa tengah. Kesuksesan ini tak lepas dari wasiat
ayah yang saya jadikan motivasi untuk bisnis ayah.
Setelah menjalani bisnis batik ini, rasa cinta tanah
air saya bergejolak. Saya baru tahu betapa luar biasanya budaya Indonesia. Saya
berjanji kepada diri sendiri untuk melestarikan batik sebagai budaya asli
Indonesia, bukan budaya jiplakan dari bangsa lain. Ayah semoga engkau tersenyum
melihat kesuksesan melanjutkan bisnis mu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar